Google

Thursday, July 11, 2013

ORASI ILMIAH: MENANAMKAN KESADARAN LINGKUNGAN SEJAK USIA DINI - Djoko Adi Walujo



ORASI ILMIAH 
MENANAMKAN KESADARAN LINGKUNGAN SEJAK USIA DINI
Oleh Djoko Adi Walujo 
VERBA MOVENT, EXEMPLA MANENT
Kata-kata dan orasi hanya bersifat sementara
Tapi hanya keteladanan yang sempurna
Abadi dan melegenda

      Ketika almamater memanggil seorang keluarga civitas akademika untuk orasi ilmiah, apalagi dalam sidang senat terbuka, adalah kesempatan yang sangat mulia nan berharga. Hal ini adalah kesempatan  dan harapan yang tak terencanakan. Oleh karena itu kesempatan yang terhormat dan penuh kebahagiaan ini, perkenankanlah  saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, atas kepercayaan yang serta merta diberikan kepada saya. Terima kasih alamamater dan viva academika.
      
       Hadirin yang mulia nan budiman,
Kita baru saja dikejutkan oleh berbagai pemberitaan disemua lini media, yang mewartakan sebuah kejadian yang sangat ekstra, yakni banjir yang melanda berbagai kota  di negara Eropa. Kita mengenal Praha sebuah kota tua yang terletak di negara Cekoslowakia. Di kota ini banyak situs-situs sejarah, yang saat ini dikawatirkan digenangi air, serta ditakutkan akan menghapus sejarah yang bernilai seni tinggi serta berusia tua dengan berbagai ke-uniqannya. Bahkan terdengar kabar di kota ini telah melakukan evakuasi ribuan penghuninya. Sungguh merupakan fenomena yang takterduga sebelumnya, karena ketika seorang-orang menyebut nama kota-kota di Eropa, selalu dikaitkan dengan sebuah anggapan bahwa  kota-kota  itu telah melampaui sebuah perencanaan yang matang  dengan berjuta pertimbangan. Namun anggapan itu terpatahkan, karena banjir bandang hadir sebagai tamu yang tak diundang.

    Hadirin yang terpelajar dan penuh kebagaiaan.
Fenomena diatas, seakan mempertanyakan pola hubungan manusia dengan alam sekitarnya, pola hubungan yang semua nampak serasi, kini diambang saling bernegasi. Tentu ada yang perlu dibenahi, tentu ada yang perlu ditinjau kembali. Pola hubungan seharusnya berdimensi “mutual inklusi” mendadak berubah menjadi hubungan yang “mutual eklusi” yang saling meniadakan. Pola hubungan ini harus dirajut kembali, ditata dalam ruang resiprokal atau saling memberi makna, atau dironce kembali dalam kaidah interdependensi, yakni sebuah kaidah yang menyatakan bahwa alam dan manusia saling ketergantungan.
      Pola hubungan yang kurang serasi dan miskin harmoni ini, akan berdampak lanjut yakni hilangnya kedua entitas, alam membawa kerusakan dan kepunahan, dan manusia  kehilangan warisan budi daya yang telah lama dimilikinya.

Hadirin yang mulia hati dan penuh budi,
         Manusia dengan kedasarannya, setelah melihat dan mengalami langsung berbagai derita akibat bencana,  lalu menyandarkan dirinya pada kemampuan fikirnya, mengolah pengamatan, berlanjut analisa dan berarhir pada sebuah simpulan,  bahwa ternyata budaya telah merekam jejak perilaku manusia, sejak lama. Jika budaya diandaikan sebuah rekaman yang kemudian   diputar ulang, akan menjadi tumpuan untuk menatap ke depan. Budaya berkontribusi mengingatkan manusia, sekaligus secara dahsyat akan mampu memperbaiki citra kehidupan. 
         Dalam orasi ini saya ingin menyegarkan ingatan kita semua tentang budaya, bahwa manusia telah melewati tahapan demi tahapan budaya. Perkenankan saya dengan rasa hormat meminjam buah pikir, Van Peursen.
Meroketnya teknologi dan memudarnya budaya.
BACA SELENGKAPNYA:

      Dalam buku Strategi Kebudayaan, C. A. Van Peursen menjelaskan bahwa dewasa ini terdapat pergeseran-pergeseran arti kebudayaan. Disamping tidak melihat manusia sebagai manusia yang modern atau primitif, van Peursen membagi beberapa tahap yang menjelaskan kebudayaan. Tahap dimaksudkan bukan merupakan tingkatan, melainkan mengenai pandangan kebudayaan. Terdapat 3 tahap menurutnya, yakni: tahap mitis, tahap onologis, dan tahap fungsional. Dalam menjalankan tahap tersebut, khususnya pada tahap ketiga yaitu fungsional, diperlukan strategi-strategi agar kebudayaan yang sedang dijalankan atau kebudayaan ke depan bisa berjalan dengan matang. Strategi kebudayaan inilah yang menurut Van Peursen,  perlu diperhatikan untuk mencermati ketegangan antara sikap terbuka (transendensi) dengan sikap tertutup (imanensi) dalam hubungan antara manusia dan kekuasaan-kekuasaan disekitarnya yang saling mempengaruhi.
Pertama, kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang. Perbedaan ini terlihat dari, misalnya saja, kehidupan manusia dan kehidupan hewan. Tidak seperti hewan, manusia tidak dapat hidup di tengah-tengah dunia dengan tidak memperhatikan jangka waktu, melainkan harus bekerja untuk mengubah alam itu, yang sebenarnya disebut sebagai “kebudayaan” itu sendiri. Jaquetta Hawkes mengatakan, “…. Kera-kera dapat menjelma sebagai tukang reparasi arloji jika mereka mengembangkan kesadaran tentang waktu.” [1]. Manusia memperhatikan waktu sehingga mereka sampai saat ini menciptakan banyak kebudayaan yang bermacam-macam.
Kedua, pergeseran juga terjadi dalam konsep kebudayaan yang dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan lagi kaku dan statis. Kebudayaan, kita pandang sebagai kata kerja, bukan kata benda lagi. Kebudayaan yang tidak jauh dari keberadaan manusia secara sadar-tidak sadar selalu diperluas dan dinamisir sendirinya oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan ‘sesuatu’.
    Para wisudawan hadirin yang mulia cipta karsa,
       Menurut Van Peursen, tahap Mitis, yaitu sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, seperti kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif[2]. Namun, dalam kebudayaan modern pun sikap mitis masih terasa banyak dilakukan. Misalnya, di Indonesia sendiri, seperti mitos tidak boleh buang ludah sembarangan, tidak boleh duduk di depan pintu, tidak boleh buang air kecil di batang pohon, dan lain-lain. Dalam alam pikiran mitis hubungan antara manusia (subjek) dan dunia (objek) dapat digambarkan sebagai: saling meresapi, partisipasi.
Tahap Ontologis, yaitu sikap manusia yang tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan kekuatan mitis, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dahulu dirasakan sebagai kepungan. Mereka mulai menyusun suatu ajaran atau teori dasar mengenai hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Kebudayaan ontologi berkembang dengan lingkungan kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.[3] Sebagai contoh, ketika kita memuja Tuhan, kita mungkin sedang melakukan tahap mitis, namun sebenarnya kita mulai mencari tahu dan mempelajari apakah hubungan kita dengan Tuhan dilihat dari peran-Nya di kehidupan kita sehari-hari.  (artinya dapat dibuktikan kebenaran adanya Tuhan), kita sebenarnya menunjukan tahap ontologis. Ontologis erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan yang membuktikan suatu hal. Dalam alam pikiran ontologis kita jumpai: distansi, jarak, dan usaha mencapai pengertian. Pada tahapan inilah, manusia menemukan berbagai alat produksi, manusia menemukan teknologi.
       Ketika menusia memiliki kemampuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dengan deras lahirlah produk-produk teknologi. Teknologi hadir dengan kecepatan tinggi dan terpoliferasi dengan berbagai dimensi. Lahirnya mesin Huller (pemecah kulit padi), melahirkan pengangguran petani yang beribu dan tak terhingga batas jumlahnya, karena perannya telah diambil oleh teknologi.[4]  Juga terjadi ketika lahirnya gergaji berteknologi kecepatan tinggi, yang kita kenal dengan Chainsaw, memiliki kapabilitas memotong pohon berdimeter 1,2 meter dalam waktu dua menit. Jika mesin itu digunakan dalam kurun waktu 1 jam, maka sekitar 30 pohon akan tertebas tumbang. Tentu dengan kelipatan waktu lama, akan membawa gundulnya hutan.
Chainsaw inilah yang dapat memberikan kontribusi over-logging. Dan jika manusia tak dapat menahan sifat serakahnya, maka kepunuhan hanya menunggu waktu.
   Ilegal logging, salah satu bentuk disfungsional behavior (penyimpangan perilaku), yang disokong oleh temuan teknologi, telah menebas hutan, tanpa batas perasaan, dan lupa akibat yang ditimbulkan. Kondisi inilah yang kita kenal Technomania.
Technomania adalah perilaku manusia dalam menggunakan teknologi secara membabi buta, miskin pertimbangan, lemah nalar, dan berfikir berbatas pintas. Seharusnya manusia berpusar pada perilaku Tecnophilia, yakni perilaku yang bersadar nalar, untuk memandang dan menggunakan teknologi. Bukan membabi buta, tapi semata-mata guna meringankan bebean berat manusia. Jika kita melakukan pembiaran terhadap perilaku tecnomania, sama halnya kita menghilangkan entitas dan identitas manusia.
    Ibu Bapak Undangan yang terpilih dan penuh kasih,
Tahapan berikunya menurut Van peursen adalah tahapan fungsional, yaitu sikap dan alam pikiran yang tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap objek penyelidikannya (sikap ontologis), ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya [5]. Dalam alam pikiran fungsionil nampak, bagaimana manusia dan dunia saling menunjukkan relasi, dimana manusia sebagai subyek (S) masih berhadapan dengan dunia (O), tetapi bukan lagi sebagai sesuatu yang bulat tertutup: subjek terbuka bagi objek dan sebaliknya. Saat ini, bekerja bagi manusia merupakan cara untuk memberi isi kepada esksistensinya sebagai manusia. Apabila tidak, manusia dipandang sebagai seorang yang kurang memiliki identitas dan isi. Ketika manusia bekerja, mereka mendapatkan pendapatan yang menilai kemampuan hidup mereka, meskipun semuanya membutuhkan proses. Sejalan dengan itu, ilmu pengetahuan diperlukan untuk bersaing. Orang ingin menambah ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya.
Karenanya, pada kehidupan manusia, terdapat suatu proses yang dimana diperlukan strategi yang dilakukan secara berbeda. Sebuah strategi kebudayaan akan selalu mencermati ketegangan antara sikap terbuka (transendensi) dengan sikap tertutup (imanensi) dalam hubungan antara manusia dan kekuasaan-kekuasaan disekitarnya. Di tahapan inilah manusia seharusnya telah piawai dalam mengendalikan dirinya.
Manusia pemanasan global (Global warming)
         Telah kita diketahui bahwa menggunakan  teknologi yang membabi buta, tanpa rasa dan lemah nalar melihat ke depan, adalah identik dengan mencipta sebuah bencana. Seperti saat ini yang kita rasakan. Kini manusia dibelahan dunia berhadapan dengan masalah terbesar yakni pemanasan global (Global Warming). Dampaknya pada bumi dan kehidupan seluruh makhluk sungguh sangat menakutkan. Apa yang menjadi sebab terjadinya global warming, sudah sangat sering diperdebatkan oleh komunitas ilmuwan, media, bahkan politisi. Tetapi, sayangnya, kita masih saja terus memperbincangkan penyebab seputar global warming, padahal akibat yang ditimbulkan setiap hari semakin nyata dan terukur. Satu hal yang pasti, penyebabnya adalah siapa lagi kalau bukan kita, umat manusia, dan akibat dari ini akan sangat terasa.
Berikut ini faktor penyebab terjadinya pemanasan global:
1. Polusi Karbondioksida dari pembangkit listrik bahan bakar fosil
Ketergantungan kita yang semakin meningkat pada listrik dari pembangkit listrik bahan bakar fosil membuat semakin meningkatnya pelepasan gas karbondioksida sisa pembakaran ke atmosfer. Sekitar 40% dari polusi karbondioksida dunia, berasal dari produksi listrik Amerika Serikat. Kebutuhan ini akan terus meningkat setiap harinya. Sepertinya, usaha penggunaan energi alternatif selain fosil harus segera dilaksanakan. Tetapi, masih banyak dari kita yang enggan untuk  melakukan ini.
2. Polusi Karbondioksida dari pembakaran bensin untuk transportasi
Sumber polusi karbondioksida lainnya berasal dari mesin kendaraan bermotor. Apalagi, keadaan semakin diperparah oleh adanya fakta bahwa permintaan kendaraan bermotor setiap tahunnya terus meningkat seiring dengan populasi manusia yang juga tumbuh sangat pesat. Sayangnya, semua peningkataan ini tidak diimbangi dengan usaha untuk mengurangi dampak.
3. Gas Metana dari peternakan dan pertanian.
Gas metana menempati urutan kedua setelah karbondioksida yang menjadi penyebab terdinya efek rumah kaca. Gas metana dapat bersal dari bahan organik yang dipecah oleh bakteri dalam kondisi kekurangan oksigen, misalnya dipersawahan. Proses ini juga dapat terjadi pada usus hewan ternak, dan dengan meningkatnya jumlah populasi ternak, mengakibatkan peningkatan produksi gas metana yang dilepaskan ke atmosfer bumi.
4. Aktivitas penebangan pohon
Seringnya penggunaan kayu dari pohon sebagai bahan baku membuat jumlah pohon kita makin berkurang. Apalagi, hutan sebagai tempat pohon kita tumbuh semakin sempit akibat beralih fungsi menjadi lahan perkebunan seperti kelapa sawit. Padahal, fungsi hutan sangat penting sebagai paru-paru dunia dan dapat digunakan untuk  mendaur ulang karbondioksida yang terlepas di atmosfer bumi.
5. Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan
Pada kurun waktu paruh terakhir abad ke-20, penggunaan pupuk kimia dunia untuk pertanian meningkat pesat. Kebanyakan pupuk kimia ini berbahan nitrogenoksida yang 300 kali lebih kuat dari karbondioksida sebagai perangkap panas, sehingga ikut memanaskan bumi. Akibat lainnya adalah pupuk kimia yang meresap masuk ke dalam tanah dapat mencemari sumber-sumber air minum kita.
Berikut ini akibat yang ditimbulkan oleh terjadinya pemanasan global:
1. Kenaikan permukaan air laut seluruh dunia
Para ilmuwan memprediksi peningkatan tinggi air laut di seluruh dunia karena mencairnya dua lapisan es raksasa di Antartika dan Greenland. Banyak negara di seluruh dunia akan mengalami efek berbahaya dari kenaikan air laut ini. Inilah mungkin yang faktor penyebab tenggelamnya Ibu Kota Jakarta beberapa tahun mendatang sesuai dengan yang diprediksi ilmuwan.
2. Peningkatan intensitas terjadinya badai
Tingkat terjadinya badai dan siklon semakin meningkat. Di dukung oleh bukti yang telah ditemukan oleh para ilmuwan bahwa pemanasan global secara signifikan akan menyebabkan terjadinya kenaikan temperatur udara dan lautan. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan kecepatan angin yang dapat memicu terjadinya badai kuat.
3. Menurunnya produksi pertanian akibat gagal panen
Diyakini bahwa, milyaran penduduk di seluruh dunia akan mengalami bencana kelaparan karena faktor menurunnya produksi pangan pertanian akibat kegagalan panen. Ini disebabkan oleh pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim yang kurang kondusif bagi tanaman pangan.
4. Makhluk hidup terancam kepunahan
Berdasarkan penelitian yang dipublikasin di Nature, pada tahun 2050 mendatang, peningkatan suhu dapat menyebakan terjadinya kepunahan jutaan spesies. Artinya, di tahun-tahun mendatang keragaman spesies bumi akan jauh berkurang. Namun, semoga saja tidak termasuk di dalamnya spesies manusia.[6]
5.      Glacier mulai mencair
 Akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh Pemanasan Global, glacier di enam benua mulai mencair, lautan es di Kutub Utara dan Kutub Selatan, demikian juga lapisan es di Greenland, juga gletser di puncak-puncak gunung mulai mencair, ini mengakibatkan naiknya permukaan laut, badai yang menghancurkan muncul silih berganti, banjir dan longsor semakin sering terjadi, kekeringan yang melanda pertanian bermunculan di mana-mana, menyebabkan persediaan makanan dan air minum di dunia semakin menipis.
6.      Penyakit tropis menyebar
Penyakit tropis menyebar, malaria, demam dengue, demam kuning menyebar ke daerah yang sebelumnya tidak pernah dijangkiti, dan bukan hanya itu, penyakit ini diketahui menjadi semakin ganas. Belum lagi meningkatnya jumlah manusia yang terserang penyakit seperti kanker kulit, kolera dan sebagainya yang belakangan ini semakin mewabah, dan mencakup daerah yang semakin luas.
7.       Pemanasan laut
Pemanasan laut menyebabkan rusaknya karang dan matinya kehidupan di situ. Diperkirakan dalam waktu 50 tahun ke depan, seluruh karang laut di dunia ini akan musnah akibat pemanasan laut dan polusi akibat kegiatan manusia.
Para Undangan, Wisudawan yang berbintang terang,
Dengan menyaksikan berbagai realitas, mendorong manusia untuk berperilaku laku pantas. Mengendalikan diri sembari memikirkan, upaya-upaya cerdas, agar manusia di bumi ini masih mampu menjaga entitas dan identitas.
     Menusia diharapkan meletakkan tatantan baru dalam menjalin hubungan dengan alamnya. Mengembalikan citarasa hubungan. Dari yang saat ini saling menegasi tanpa harmoni, kembali serasi. Dari pola sikap yang mutual eksklusif kembali ke ranah mutual inklusif, resiprokal yang masif. 
Pemberikan penyadaran, membangunkan pikir untuk masa depan, sangat piawai jika ditempuh melalui proses penyadaran lingkungan sejak anak usia dini.
Mengapa Anak usia dini?
Begitu pentingnya masa usia dini ini, sampai-sampai Sigmund Freud berpendapat bahwa “Child is Father Of Man” (anak adalah ayah dari manusia), artinya masa anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian masa dewasa seseorang.[7]
Kemudian apa yang harus dilakukan pada anak usia dini itu? Jawabnya adalah model pembiasaan. Pembiasaan (habituation) merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang berulang-ulang. Sikap atau perilaku yang menjadi kebiasaan mempunyai ciri; perilaku tersebut relatif menetap, umumnya tidak memerlukan fungsi berpikir yang cukup tinggi, misalnya untuk dapat mengucapkan salam cukup fungsi berpikir berupa mengingat atau meniru saja, bukan sebagai hasil dari proses kematangan, tetapi sebagai akibat atau hasil pengalaman atau belajar, dan tampil secara berulang-ulang sebagai respons terhadap stimulus yang sama.
Proses pembiasaan berawal dari peniruan, selanjutnya dilakukan pembiasaan di bawah orang tua, dan guru (bunda atau pamong PAUD), anak-anak akan semakin terbiasa. Jika hal tersebut telah menjadi kebiasaan yang tertanam jauh di dalam hatinya, maka anak-anak itu kelak akan sulit untuk berubah dari kebiasaannya. Misalnya melakukan shalat berjamaah bila waktu shalat tiba, tidak akan berpikir panjang apakah shalat dulu atau melakukan hal lain, apakah berjamaah atau nanti saja shalat sendirian. Hal ini disebabkan karena kebiasaan itu merupakan perilaku yang sifatnya otomatis, tanpa direncanakan terlebih dahulu, berlangsung begitu saja tanpa dipikirkan lagi.
Proses pembiasaan dalam pendidikan merupakan hal yang penting terutama bagi anak-anak usia dini. Anak-anak belum menyadari apa yang disebut baik dan tidak baik dalam arti susila. Ingatan anak-anak belum kuat, perhatian mereka lekas dan mudah beralih kepada hal-hal yang terbaru dan disukainya. Dalam kondisi ini mereka perlu dibiasakan dengan tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan pola pikir tertentu. [8]
Simpulan:
     Seperti yang telah dibentangkan, maka kita harus mulai sadar bahwa ancaman berupa bencana telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia. Setiap bergerak manusia dalam pola pikir, pola sikap dan pola lakunya harus menguatkan kesetiaan pada alamnya.
    Kemudian harus ada kesadaran bahwa menjaga alam sekitar adalah suatu keharusan yang bersifat memaksa (imperatif). Menjaga alam bukan jawaban argumentatif, namun lebih bersifat tindakan dan keteladanan.
      Melakukan pembiasaan anak usia dini terkait dengan alam sekitar adalah suatu nilai bijak, yang tidak harus menunggu waktu. Pembiasan harus dilakukan dalam semua ranah, semua dimensi, semua lini, dan bukan tergantung waktu.
  Para pendidik, guru, ulama, cerdik pandai, harus mengambil peran yang serius terhadap pembiasaan berperilaku bersabat dengan alam.
     Ibu Bapak hadirin yang arief nan bijak,
   Demikian orasi ilmiah ini, perkenankan saya mengakhiri orasi, seraya memohon kepada para wisudawan untuk mampu menyemaikan kesadaran pada anak usia dini tentang ancaman bencana. Tentunya dengan kerendahan hati, saya memohon maaf, jika dalam orasi ini jauh dari kesempurnaan dan harapan. Semoga Allah Tuhan Yang Maha Esa memberkati.
Wassalamualaikum Wr Wb.
 
  
Djoko Adi Walujo



RUJUKAN:
Adisasono Srituarief,. 2013. Indonesia Ketergantungan Dan Keterbelakangan. Noura Books (Mizan) 
Bills, D., 2002. Delivering public benefits: multifunctional forestry in the United Kingdom. In FAO, ECE, ILO 2002, Partnership in Forestry, Brussels, 2-6 June 2002: 79-85.
Buttoud, G., 2002. Developing partnerships between forestry agencies and stakeholders: the mixed model as a strategic planning tool. In FAO, ECE, ILO 2002, Partnership in Forestry, Brussels, 2-6 June 2002: 69-75.
Davies, J. and M. Richards, 1999. The use of economics to assess stakeholder incentives in participatory forest management: a review, European Union Tropical Forestry Paper 5, Overseas Development Institute.
FAO, 1999. The participatory process for supporting collaborative management of natural Resources: An Overview. FAO, Rome.
FAO, ICALPE, IUCN, 1996. Towards sustainable mountain development in Europe, European Inter-Governmental Consultation 1996, in Proceedings of the final Trento session, Centro di Ecologia Alpina - PAT, Trento: 23-42.
Van Peursen C.A, 1994 Strategi Kebudayaan,  Kanisius Yogyakarta.
International Review of the Red Cross, 2010, No. 879 – Environment


http://growthiscity.org/ Terrorism and Climate Change
http://www.referensimakalah.com/2012/07/pendidikan-melalui-proses-pembiasaan.html


[1] Strategi Kebudayaan, Van Peursen  Strategi Kebudayaan , Kanisisus Jogjakarta 1994:28.
[2] Strategi Kebudayaan, Van Peursen  Strategi Kebudayaan , Kanisisus Jogjakarta 1988:18
[3] Van Peursen  Strategi Kebudayaan , Kanisisus Jogjakarta   1988:18
[4] SrItuarif-Adi Sasono, Indonesia Ketergantungan Dan Keterbelakangan 2013.
[5] Van Peursen  Strategi Kebudayaan , Kanisisus Jogjakarta   1988:18
[6] Tulisan di olah dari: planetsave.com

[7] http://dodiiwandra.blogspot.com/2012/01/perkembangan-anak-usia-dini.html
[8] http://www.referensimakalah.com/2012/07/pendidikan-melalui-proses-pembiasaan.html

No comments: